Amnesty International Indonesia : Pelanggaran HAM di Papua Harus Diselesaikan, Tak Ada Perdamaian Tanpa Keadilan

JAKARTA, - Penyelesaian Tragedi Wasior dan Paniai, serta pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia (HAM) lainnya di Papua tidak hanya diperlukan untuk memberikan keadilan kepada korban dan keluarganya, tetapi juga untuk memberikan dasar yang kuat untuk proses perdamaian di Papua.

Demikian dikatakan Amnesty International Indonesia dalam memperingati 21 tahun Tragedi Wasior yang jatuh pada tanggal 13 Juni.

“Jika pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti Tragedi Wasior dan Paniai, tidak diusut dan diadili secara tuntas, luka yang dialami oleh korban, keluarga korban, dan masyarakat Papua secara luas tidak akan pernah sembuh,” kata Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena di Jakarta, Kamis (9/6/2022).

“Sebelum kasus-kasus ini diinvestigasi secara tuntas dan para pelakunya dibawa ke pengadilan, pemerintah Indonesia tidak akan pernah mendapatkan kepercayaan dari masyarakat Papua. Dan tanpa itu, tidak akan ada perdamaian yang sesungguhnya di Papua," imbuhnya.

Tragedi Wasior terjadi dari April-Oktober 2001, bermula dari dua serangan dari kelompok bersenjata terhadap dua perusahaan kayu di Kabupaten Wasior, Provinsi Papua Barat. Dua serangan itu berujung kematian empat orang karyawan dan lima orang anggota Brimob yang bertugas menjaga perusahaan tersebut.

Respons aparat terhadap kedua serangan tersebut menyebabkan setidaknya empat orang tewas, satu orang mengalami kekerasan seksual, lima orang hilang, dan 39 orang disiksa.

Sementara Paniai Berdarah terjadi pada 8 Desember 2014. Empat orang tewas dan belasan lainnya terluka akibat aparat keamanan melepaskan tembakan pada massa yang sedang berunjuk rasa di lapangan Karel Gobai, dekat markas Koramil Paniai.

Tahun lalu, Kejaksaan Agung RI akhirnya memulai penyidikan terhadap dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai dan menetapkan seorang tersangka pada 1 April 2022.

“Kami berharap naiknya kasus Paniai ke tahap penyidikan menjadi preseden baik bagi pelanggaran HAM berat lainnya. Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu tidak boleh berhenti sampai di kasus ini. Karena itu, kami mendesak Kejaksaan Agung untuk memastikan bahwa semua terduga pelaku yang terlibat di dalam tragedi kemanusiaan tersebut dibawa ke pengadilan HAM,” kata Wirya.

Pelanggaran-pelanggaran HAM di Papua, beserta impunitas bagi pelaku, juga masih terus berlanjut sampai sekarang. Berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh Amnesty International Indonesia, selama 2018-2022 ada setidaknya 61 kasus pembunuhan di luar hukum yang diduga dilakukan oleh aparat keamanan, dengan total 99 korban meninggal.

Sebelumnya, ketika laporan “Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati” dirilis tahun 2018, Amnesty mencatat adanya 69 kasus pembunuhan di luar hukum dengan 95 korban selama periode 2010-2018.

Kasus-kasus tersebut termasuk pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani, yang sampai sekarang belum ada kejelasan proses hukumnya, dan juga pembunuhan Eden Bebari dan Roni Wandik, dua pemuda yang sedang mencari ikan di Timika, yang kasusnya saat ini sedang diadili di pengadilan militer, bukan pengadilan umum.

“Sayangnya, negara tidak pernah belajar dari masa lalu. Hingga hari ini, insiden pembunuhan di luar hukum masih saja terjadi di Papua. Wasior-Wasior dan Paniai-Paniai lain akan terus ada selama impunitas terus berjalan dan selama aktor kunci tidak diusut tuntas dan diadili di pengadilan umum,” tukasnya.



sumber: www.jitunews.com